Selasa, 28 Mei 2013

Waktu

Kalau ada orang yang bilang “time flies” atau “waktu cepat berlalu”, memang benar adanya. Seseorang, tetiba mengirimkan sebuah tulisan dari masa lalu. Artikel tentang Kalingga, saat kami sempat menggenggam dunia. Artikel yang saat kembali saya membaca, menciptakan sesungging senyum di bibir saya. Masa-masa itu. Sudah empat tahun sejak kami berjaya. Teringat jelas bagaimana kami sumringah dan jumawa saat menggenggam piala.

Sekarang, empat tahun sesudahnya, saya sudah tidak tahu lagi bagaimana rasanya berjaya. Bahkan berhasrat untuk merasa lagi pun tidak. Mimpi-mimpi saya tidak lagi besar, hanya pasrah menangkap apa yang dunia lempar ke saya. Saat saya dilempar rejeki, alhamdulillah dinikmati. Kalau ternyata lain waktu yang dilempar ke saya adalah rentetan kecewa dan caci maki, ya diterima saja. Paling-paling hanya akan menjadi baret dan luka. Tapi akan sembuh, karena waktu akan menyembuhkan. Time heals.

Heran bagaimana waktu bisa memisahkan jarak antara manusia. Hubungan yang dulu hangat pun mendingin. Percakapan kita yang dulu mengalir deras sekarang menjadi jarang. Bagaimana dulu kita begitu dekat, sekarang bagai orang asing. Teman-teman Kalingga, apa kabar kalian sekarang?

Banyak orang datang dan pergi dalam kehidupan saya, tapi hanya terhitung jari yang tetap terjalin erat sampai sekarang. Bukan salah waktu, tapi salah saya. Saya tidak punya rentang toleransi yang cukup besar atas perbedaan sifat manusia. Dan pagar-pagar tidak terlihat di sekitar saya yang saya bangun dulu, ternyata belum runtuh, bahkan nampaknya semakin tinggi, semakin rapat, dan semakin kokoh. Ternyata ada yang tidak bisa diubah oleh waktu. Ada yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu. Waktu justru membuatnya semakin buruk.

Jadi, jangan tanya saya perihal romansa.

Selasa, 20 November 2012

Dua Tujuh

Sebulan yang lalu saya memasuki usia dua tujuh. Baru sekarang, sebulan berselang, saya memikirkan tentang beranjaknya usia saya. Bulan kemarin, bulan saat saya berulang tahun, saya sedang sibuk-sibuknya. Berlalu lalang dari satu kota ke kota lain dengan alasan pekerjaan. Dilihat dari sudut pandang yang positif, adalah keuntungan bagi saya bekerja di perusahaan multinasional, yang memberikan kesempatan untuk menyambangi kota-kota di Indonesia. Tanpa bayar, bahkan dibayar. Tapi dari sudut pandang lain yang sedikit kurang menguntungkan, ini kerja bung bukan jalan-jalan! Bukan pula menjalang. Jadinya, saya wajib berpintar-pintar mengatur waktu supaya tetap bisa menikmati suasana kota di tengah padatnya jadwal.

Biasanya, saya mendarat di kota tujuan malam hari, karena siangnya harus bekerja dulu, atau paling tidak setor muka saya yang berminyak ini di kantor Jakarta. Selepas mendarat dan tiba di hotel, saya cenderung untuk memilih keluar jalan-jalan sebentar alih-alih menggelungkan diri di atas kasur. Entah itu pergi untuk mencari panganan khas lokal guna mengganjal perut, atau sekedar melihat-lihat apa yang bisa dilihat hanya dikala malam, tidak di saat benderang. Bukan berarti bulan ini saya tidak sibuk bepergian. Saya berkesempatan menulis ini pun di tengah kebengongan di ruang tunggu bandara Djuanda, menunggu jadwal penerbangan yang diundur sekitar satu jam.

Dalam satu jam ini kemudian saya tiba-tiba teringat bahwa saya telah menjadi dua tujuh. Seolah saya ditarik paksa untuk melihat kenyataan, setelah selama sebulan terakhir saya terlalu banyak melihat langit dan gumpalan awan dari ketinggian pesawat. Saya telah kehilangan satu bulan untuk menyadari usia saya yang telah bertambah, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian di otak dan benak saya. Seolah-olah usia dua tujuh ini adalah sebuah baju baru yang seterusnya (sampai dua belas bulan ke depan) harus saya pakai, saya telah terlambat satu bulan untuk mengganti baju yang lama dan memakai baju baru ini. Untungnya hanya terlambat satu bulan, saya tidak mau tiba-tiba nanti saya telah menjadi tiga lima, tapi tidak ingat akan proses-proses yang terjadi karena terlalu asik mengalir. Ibarat dalam sebuah perjalanan, saya tidak mau tiba-tiba sudah sampai di tempat tujuan, tapi lupa lewat jalan mana.

Beberapa malam yang lalu, saat saya berkesempatan rehat sejenak di Jakarta, tiba-tiba ada teman yang menghubungi saya. Lewat sebuah pesan singkat dia menuliskan, “Makan nasi goreng rajungan yuk”. Saya cukup kaget dengan pesannya yang datang tiba-tiba, karena sepanjang ingatan saya dia masih meliburkan diri di Turki. “Sudah balik dari Turki?”, tanya saya. “Baru sampai tadi siang. Nih, ada oleh-oleh”, jawabnya. Saya menyambut baik ajakan makan malamnya, dengan iming-iming oleh-oleh yang dia bawa. Kebetulan, pun saya lapar. Tak lama berselang kami berdua sudah blusukan melewati jalan sempit yang di pinggir-pinggirnya penuh dengan penjaja sayuran dan ikan, di bilangan Bendungan Hilir. Tempat makan yang kami tuju ini lokasinya ada di tengah pasar. Kami berjalan dengan langkah pelan sembari berjingkat-jingkat menghindari genangan. Hujan baru berhenti, meninggalkan genangan-genangan kecil air di sepanjang jalan, bau usai hujan yang khas, suhu yang mendingin, dan kemacetan kecil yang sudah biasa menjadi wajah Jakarta. Sesampainya di lokasi, kami memesan beberapa menu andalan seperti cumi saus Padang, cah kangkung kaya serat untuk pencernaan kami yang bak rongsokan, dan tentunya sepiring porsi besar nasi goreng rajungan yang dimakan oleh dua bajingan.

Sembari menunggu pesanan datang, teman saya mengeluarkan sekantong buah-buahan kering yang dia beli di Turki untuk oleh-oleh saya. Selanjutnya, sambil memamah pesanan yang telah terhidang, asiklah dia bercerita penjang lebar tentang proses pembuatan buah-buah kering ini, yang dia sambunglidahkan dari penjelasan si penjual. Tanpa diminta, tau saja dia apa yang saya suka dari sebuah oleh-oleh atau buah tangan. Bukan melulu bendanya, tapi lebih ke ceritera unik di balik benda-benda itu yang menurut saya lebih menarik. Jadi, di dalam kantong plastik yang dia berikan ke saya, berisi buah-buahan kering beraneka rupa. Mulai dari aprikot, walnut, anggur, dan macadamia. Anggurnya sendiri juga bermacam-macam jenisnya. Ada anggur hijau, anggur ungu, dan anggur merah. Proses pengeringannya anggur-anggur ini dan buah-buahan yang lain pun berbeda-beda. Ada yang dijerang di bawah panas matahari, ada pula yang dikeringkan di dalam ruangan, yang menghasilkan cita rasa yang tidak sama. Sambil mendengarkan dengan seksama, sembari saya menggigiti anggur-anggur kering tersebut untuk membuktikan kebenaran ceritanya. Terbukti memang benar. Walaupun sama-sama anggur, ternyata rasanya beda. Juga teksturnya saat dikulum di mulut dan dikunyah geligi. Ada yang teksturnya lembut dengan rasa yang sedikit hambar, ada pula yang kenyal dan manis bak makan permen Yuppy.

Kemudian topik beralih ke lanskap kota Istanbul. Oh...Konstantinopel, begitu saya lebih suka menyebutnya. Tempat yang menjadi salah satu bucket list saya untuk disambangi suatu hari nanti, sejak pertama kali saya jatuh hati setelah melihat film berjudul “Touch of Spice”. Kota dimana setiap lapisan tanahnya menjejak peradaban-peradaban yang agung. Yunani, Romawi, dan Kordoba. Konon, masuk ke Konstantinopel seakan-akan masuk ke dunia lain. Lanskap kota yang sangat otentik, yang tidak dimiliki oleh daerah manapun di belahan dunia manapun. Hanya ada satu Konstantinopel di dunia.

Saya terus memperhatikan teman saya yang ceriwis bercerita. Lihatlah dia. Diusianya yang tiga lima, dia nampak begitu utuh. Apa adanya. Dia tidak sedikitpun terlihat berusaha untuk mengimpresi orang lain, termasuk saya. Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya yang dipenuhi nasi goreng dan suwiran daging rajungan, hampir tidak ada yang menggunakan subjek kalimat “aku”. Dia tidak bercerita tentang dirinya yang telah menjejakkan kaki di Turki, tapi dia bercerita tentang Turki negara yang baru saja dia eksplorasi. Dalam percakapan-percakapan kami selama ini, bisa dia dengan begitu mudahnya menepis argumen-argumen saya yang tajam lagi sinis, hanya dengan celetukan-celetukan sambil lalu. “Aku liat dong foto-fotonya, tapi bukan yang foto narsis ya”, pinta saya sedikit dibumbui nyinyir. Tak acuh dia menjawab, “Emang jarang yang ada aku-nya kali. Kebanyakan foto pemandangan. Kalau mau foto diri sendiri mah ngapain jauh-jauh ke Turki, di rumah juga bisa”.

Pencapaian-pencapaiannya luar biasa, tapi tidak ada yang dia display di etalase sosial. Teman saya ini, bukan marionette berjalan. Polah dan pikirnya tidak dikendalikan oleh orang lain. Adapun teman saya yang lain. Dimana pertemuan pertama dan terakhir kami terjadi di New York, tiga tahun lalu. Pertemuan yang tidak lama, hanya perkenalan dan jabat tangan singkat. Setelah beberapa waktu tidak bersua, kami bertaut lagi akibat kecanggihan teknologi. Dia, di waktu-waktu yang tidak terduga suka menyapa, atau lebih tepatnya bertanya kepada saya, dengan kalimat pembuka yang selalu sama. “Bay, can I hit you with a question?”. Segera setelah saya menjawab dengan jawaban yang sama pula, “Hit me.”, meluncurlah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang kadang sulit untuk dijawab. Suatu waktu dia bertanya, “Bay, what will you be, as a person, when you’re thirty?” Pertanyaan yang cukup sulit. Sejenak saya berpikir, teringat akan teman saya yang baru pulang dari menyinggahi Turki, kemudian saya menjawab: “Aku pengen jadi orang yang nggak perlu membuktikan apapun ke siapapun. Tidak perlu bersusah menarik perhatian orang dengan memamerkan diri di etalase sosial. Dan nggak mau dengan bodoh membohongi diri untuk tetap menjadi muda. Toh faktanya aku nggak akan pernah jadi lebih muda dari hari ini.”

Tetiba, kegiatan tulis menulis saya harus segera disudahi. Termasuk menyudahi benak saya yang sedari tadi melayang-layang memikirkan ke-duatujuh-an saya. Sudah saatnya giliran badan yang melayang, kembali pulang, karena panggilan untuk memasuki badan pesawat sudah digaungkan. Saya termasuk yang paling akhir memasuki pesawat. Sejenak mencuri kesempatan melirik jam tangan, pukul 17.30. Dalam beberapa menit, saya akan terbang di atas selapis langit, dan melihat semburat garis kuning di ujung sana, penanda matahari mulai tenggelam. Entah terbang pada lapisan langit keberapa? Bisa jadi di lapisan ketujuh, di usia saya yang –sudah, atau baru- dua tujuh.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Serapal Doa

Suatu pagi saya dibuat agak tersentak oleh sebuah kalimat singkat yang ditulis seorang teman. Sepotong kalimat yang dia tulis sebagai status blackberry messenger. Sepotong kalimat yang bukan sembarang kalimat, namun serapal doa.

Sepanjang ingatan saya, teman saya ini bukan orang yang suka mengumbar vulgar urusan-urusannya dengan Tuhan. Bahkan kalau ditanya apa agamanya pun, teman saya ini akan serta merta naik pitam. Menurut dia, agama adalah sebuah ranah pribadi, yang tidak perlu untuk dipublikasi, dan tidak berhak untuk diintervensi.

 Namun sayang sungguh disayang, bertanya mengenai agama atau kepercayaan seseorang merupakan hal yang dianggap lumrah di negeri ini, yang konon berbasis persatuan bukan agama. Jadi teringat waktu berkunjung ke Jerman pada tahun 2009, saya dan beberapa orang teman singgah di sebuah kota kecil di perbatasan Jerman dan Swiss, bernama Konstanz. Di kota ini ada sebuah universitas, dimana Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliahnya. Kami, sebagai orang Indonesia asli, diminta menjadi bintang tamu di kelas bahasa Indonesia tersebut, membantu teman-teman disana untuk bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia. Terkejut saya saat mengetahui bahwa dalam buku modul mereka, pertanyaan “Agama kamu apa?” menjadi pertanyaan nomor tiga saat berkenalan dengan orang baru, setelah menanyakan nama dan asal. Menurut si dosen, bertanya tentang agama sudah menjadi bagian dari budaya berkenalan di Indonesia. Walaupun saya merasa bangga menjadi wakil orang Indonesia di sana, tapi berkaitan dengan pernyataan si dosen ini saya tidak merasa terwakili sama sekali. Bisa jadi si dosen benar, sayanya saja yang anomali.

Di Indonesia, beberapa aplikasi formulir, baik yang berkaitan dengan urusan pekerjaan dengan instansi swasta maupun urusan kewarganegaraan dengan pemerintah, mewajibkan informasi tentang agama untuk dibubuhkan. Dalam kartu tanda penduduk pun juga ada informasi mengenai agama si empunya kartu. Saya pribadi merasa tidak ada urgensinya membubuhkan informasi tentang agama di tanda pengenal. Saat saya merasa sudah cukup keterlaluan dengan mencantumkan informasi agama, dan mendukung petisi menghapus informasi agama dari KTP, baru saya ketahui belakangan bahwa dulu bahkan ada informasi mengenai suku juga di KTP. Bayangkan! Suku? Agama? Apakah ini hanya merupakan informasi administrasi standar untuk data kependudukan? Atau kemudian pada prakteknya akan ada perlakukan yang “berbeda” saat mengetahui si pemilik kartu percaya agama A dan berasal dari suku B?

Kembali ke doa teman saya, dia menulis: “Lindungilah kami dari kesedihan”. Walaupun tidak disebutkan secara spesifik kepada siapa dia memohon perlindungan, dan walaupun teman saya selalu lantang di garis depan meneriakkan hak-hak perempuan, tapi saya yakin seratus persen dia memohon kepada Tuhan, bukan kepada Lilith. Saya pernah bertanya ke seorang karib saya yang lain, apakah dia masih berdoa kepada Tuhan. Doa yang harus diucapkan secara rutin dari waktu-ke waktu. Saking dekatnya kami, saya tidak perlu merasa canggung untuk melontarkan pertanyaan yang sangat personal ini kepadanya. Dia menjawab, “Tuhan sangat baik ke aku Bay, Dia sudah kasih semua yang aku butuh, bahkan tanpa aku minta. Jadi aku tidak mau terlalu sering merepotkan Dia dengan permintaan-permintaanku. Kupikir Dia sudah cukup sibuk mengurusi permintaan-permintaan orang yang kadang aneh-aneh.” Saya bergeming mendengar jawabannya. Sejak itu saya tidak pernah lagi menanyakan urusan Tuhan dan doa-doa kepadanya. Suatu hari di suatu pagi buta, saya melihat dia menggelar sajadah. Barangkali, doanya bukan meminta, hanya bersyukur.

Semakin kami menua, ternyata hidup semakin tidak semudah kelihatannya. Jadi kami memilih untuk merapal doa-doa yang sifatnya lebih mengarah ke pertahanan diri daripada mengharapkan sesuatu. Atau mungkin karena kami berpikir terlalu sederhana, sehingga doa yang kami rapal juga sederhana. Seperti doanya teman saya itu, dia hanya minta dilindungi dari kesedihan, bukan minta kaya. Kami tidak minta sukses dan bergelimang uang, cukup memohon bahagia dan berkecukupan. Kami mohon untuk dijauhi dari mempunyai jiwa yang dingin dan hati yang mengeluh. Kami mohon buka pikiran kami untuk tidak menjadi picik, tapi bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Kami mohon supaya selalu menyadari bahwa warna dunia sejatinya abu-abu, bukan hitam putih. Dan kami mohon untuk selalu diingatkan bahwa bahkan kentut dan sendawa adalah sebuah nikmat yang layak disyukuri. Saya kembali sempat membaca doa-doa teman saya. Kali ini ia berdoa supaya hutan-hutan dilindungi, dari jahatnya tangan-tangan kami sendiri. Dia meminta waktu supaya jangan terlalu terburu-buru, biarkan kami menikmatinya barang sebentar. Dan terakhir, dia memohon Tuhan untuk menangkap setiap tetes syukur dan doa yang kami rapal. Walaupun kami tahu bahwa tidak akan ada doa, bahkan sebesar biji zarah sekalipun, yang luput dari tanganNya yang agung. Sesungguhnya, doa-doa dari milyaran mulut manusia di dunia ini bukan karena Tuhan ingin selalu di puji puja, tapi supaya manusia-manusia seperti kami ini selalu tetap waras dalam menjalani hari-hari. Jadi serapal doa, sebuah proses untuk meminta nikmat atau menyukuri nikmat, juga adalah sebuah nikmat.

When It Rains

Hujan turun deras malam itu. Hujan pertama, semenjak kota ini dirunduk terik. Walaupun keamburadulan tata kota seringnya menyebabkan macet total hanya karena hujan turun, dan membuat kaum pekerja yang sering menghabiskan umur di macetnya jalanan mengutuki nasib, tapi tidak malam itu. Macet tetap terjadi, tapi tidak ada aksi kutuk-mengutuk. Banyak orang justru bersyukur. Syukur yang diluapkan melalui media-media digital yang dijadikan corong-corong pikiran dan limpahan uneg-uneg oleh orang-orang seperti kami. Orang-orang yang menganggap internet sudah seperti oksigen, tidak bisa hidup tanpanya.

Malam itu kami bersyukur karena hujan turun, hujan perdana setelah sekian lama. Hujan yang setiap titik airnya membawa aura syahdu, secara magis menyeka luka dan menghilang penat. Di kala hujan, waktu seakan melambat, membuat kami mempunyai kesempatan untuk menarik napas dalam, mengendurkan urat leher, dan sejenak bersandar. Tuhan memang terbukti maha baik. Hujan deras pada malam itu adalah buktinya. Menyembuhkan kami-kami ini, yang bertakwa pun tidak.

Hujan turun deras malam itu. Saya terduduk di jok belakang sebuah taksi. Malam sudah cukup larut, namun laju kendaraan di jalanan masih tersendat pelan. Saya tidak ambil peduli. Saya tidak ingin tersegera pulang, walaupun lelah badan sedari pagi dibombardir tumpukan pekerjaan yang harus dibereskan. Mata saya kosong terarah jauh menembus keluar kaca jendela, entah menatap apa. Pikiran saya tidak pada tempatnya, entah melayang ke mana. Mungkin hujan ibarat candu, membuat seluruh pertahanan kita mengendur, melayang, menikmati. Sekian menit saya terbawa suasana, sampai tetiba muncul sebuah pesan singkat di telepon genggam saya. Dengan malas saya mengumpulkan segenap perhatian yang semula beterbangan, diarahkan ke pesan yang baru saja muncul. Saya baca nama si pemberi pesan, dan ikut terbaca juga selarik kalimat di bawah nama, yang menunjukkan status perasaannya kala itu. “Enjoy the rain”.

“Hi.”, Sapanya.
“Hi juga.”, Jawab saya sambil membubuhkan emoticon memeluk.
“Mau yang asli.”, reaksinya atas si gambar memeluk.
“Jauh.”, jawab saya.
 “jauh?”, balasnya.
 “Iya, terpisah pulau".
“Emang lagi di mana?”
“Di jalan, baru pulang kantor”.
 “Hahaha..jauh ndasmu”.
 “kan di seberang samudera. Samudera banjir maksudnya.”, jawab saya. Sambil melirik genangan-genangan air cukup luas di ruas jalan sebelah.
“So, what do you do to enjoy the rain?”, iseng saya bertanya, merujuk ke kalimat yang dia tulis di bawah namanya.
“Just open the window. I like the smell and the sound.”, jawabnya.
 “Why?” tanya saya.
“It’s soothing and calming.”, jawabnya lagi.
“Petrichor.” Saya menimpali.
“He?”, dia nampak bingung.
“Petrichor is specific a scent during and after the rain.”, saya coba memberi definisi.
“Ooow, I dunno that.”
 “Now you know. Btw, enjoy the rain alone?” tanya saya.
“ Iyalah. Sama siapa lagi?” dia balik bertanya.
 “Hehehe..dunno. But I think good moment should be shared”.
“I do share. By written conversation.”, dia membalas.

Saya tidak membalas dengan kalimat, hanya dengan gambar tersenyum. Percakapan kami melalui pesan-pesan di handphone berhenti sampai di situ. Cukuplah sampai di situ, sebelum mengarah jauh hanya karena pengaruh syahdunya hujan. Kembali saya lempar pandangan ke luar jendela. Perasaan saya tidak lagi melankolis, tapi justru segar seperti tersiram air dingin. Ternyata derasnya hujan dan sepotong percakapan yang menggantung juga bisa menyembuhkan. Menyembuhkan apapun itu yang terluka. Luka saya dan luka siapapun itu yang menikmati hujan, saat ia berderas turun.

Kamis, 13 September 2012

Tumbuh

Malam ini entah malam keberapa, aku tidak bisa menghitung, semenjak kita berikrar mengikat asa delapan tahun yang lalu. Dan malam ini, seperti malam-malam terakhir yang aku rasa. Dingin. Entah pada angka berapa temperatur pendingin ruangan di kedai kopi ini dipasang, sehingga aku sedari tadi menggengamkan kedua telapak tanganku pada cangkir kopi hangat yang isinya baru aku seruput sedikit. Atau aku merasa dingin karena bersamamu, saat kamu duduk di hadapanku sekarang.

 Malam ini, seperti malam-malam terakhir yang aku rasa. Saat aku memilih untuk memandangi isi cangkir kopiku yang masih separuh lebih penuh, atau sesekali melempar pandang ke luar jendela kaca melihat orang-orang berlalu lalang, alih-alih memandangmu. Toh saat aku mencoba dengan segenap hati melakukannya, kaupun hanya bertahan sebentar memandangku tepat di mata, dan segeralah menarik pandanganmu dari koneksi mata kita, melemparnya ke arah lain. Dari gelagatnya, sepertinya kita berdua sama-sama sadar tentang apa yang terjadi, tapi tak seorangpun dari kita yang berani mengatakannya. Sepenggal kalimat yang akan menjadi sepotong pisau bermata dua.

Tidakkah kau sadar bahwa kita tidak sama seperti delapan tahun lalu? Saat aku masih tersipu malu hanya karena tahu kamu duduk di ujung sana di ruang kuliah, dan menyadari bahwa kamu melirik ke arahku dari waktu ke waktu. Dan kamu pun bukan lagi si lugu, yang menganggap bahwa aku adalah duniamu, dan senyumku adalah sumber energimu. Kita tidak lagi seperti dulu, delapan tahun lalu. Saat pandangan mata kita saling terkait selalu, hanya ke satu arah, tajam dan dalam, sampai ke isi jiwa, tidak ada jiwa manusia yang lain. Saat aku sering terkikik geli mendengar leluconmu, dan ku timpali sesekali dengan lelucon yang terdengar basi. Namun saat kamu mendengarnya, kamu terbahak lepas yang membuatku merasa aku berbakat menjadi komedian kelas wahid. Dulu kamu selalu memeluk aku, bak sabuk pengaman untukku. Saat kamu pergi untuk beberapa jam saja, aku panik karena tarikan napasku tiba-tiba terasa tidak penuh.

 Itu dulu. Delapan tahun yang lalu. Sekarang, kita berdua punya pekerjaan, membangun karir, melihat dunia, dan bertemu orang-orang. Selalu menyenangkan untuk bisa menghabiskan waktu dengamu selepas kerja atau di akhir pekan. Melihat senyummu, mendengar kelakarmu. Tapi ternyata di waktu aku tidak bersamamu, aku tidak lagi selalu memikirkanmu. Sekarang, aku tidak bisa menjadi si lugu seperti apa yang kamu mau. Aku masih punya banyak cita-cita yang ingih aku raih, masih ingin bepergian mengelilingi dunia. Namun kamu mau aku menutup cita-citaku, menjadikanmu hanya satu-satunya duniaku, dan hanya beredar mengitari dirimu. Sekarang, aku punya kesibukan yang menyita waktu namun membuat aku senang dan bersemangat. Tapi kamu mau satu-satunya yang menjadi kesibukanku adalah dengan semangat menunggumu pulang, dengan secangkir teh manis hangat di tangan, menyambutmu kemudian menanyakan hari ini apa kesibukanmu.

 Aku punya gambaran tentang akan jadi apa aku di masa depan, delapan tahun dari sekarang. Gambar itu indah dan semakin jelas terbayang, tapi mengapa aku tidak bisa menemukan sosokmu di gambar itu? Malam ini, aku menahan air mata saat kamu akhirnya meminta untuk melihatmu lekat, alih-alih memandang isi cangkir kopi, atau ke luar jendela. Dengan serak dan perlahan kamu bilang menerima kenyataan, bahwa ternyata bahagiaku bukan denganmu. Bahagiaku ternyata tidak sama dengan definisi bahagia yang kamu punya. Ternyata kita tidak lagi sama seperti dulu, delapan tahun lalu. Di ujung malam ini, kita berdua sadar bahwa kita telah tumbuh tinggi sejak delapan tahun lalu, di hari saat hati kita pertama kali saling mengait. Kita tumbuh, sama seperti manusia-manusia lainnya. We realized that we’re just like other people. Ordinary people. When they grow, they grow apart. So do we.

Kamis, 09 Agustus 2012

Rasa Dua Minggu

“Ngopoe? Statusmu kuwi?” Bertanyalah saya ke teman saya, merujuk ke status BBMnya yang tidak seperti biasanya.  
“Lagi nggrantes ati”, jawabnya singkat. Sedang bersedih hati rupanya ia.  
“Tengopo kok nggrantes?”, bertanya lagi saya, berusaha mengulik sebab musabab susah hatinya.
Bar Pedhot”, habis putus cinta, jelasnya.

Heran saya. Bagaimana mungkin teman saya ini bisa menderita patah hati yang menyebabkan dia menggalau di ranah digital, mengingat dia adalah teman saya yang jalang, yang kemampuannya menyembuhkan luka hati sama cepatnya dengan regenerasi cicak menumbuhkan ekornya yang putus.

“Hah? Sama si Panda? Bukannya baru saja, dan lagi hangat-hangatnya?" Rentetan pertanyaan mengalir dari mulut saya.

Lancangnya saya, pertama, mempredikati mantan teman saya dengan sebutan panda, karena format tubuhnya yang membulat seperti binatang langka itu. Otak saya yang aneh ini, selain terlahir sinis, juga punya kecendurangan untuk mengasosiasikan sesuatu atau seseorang dengan benda lain, alih-alih berusaha untuk mengingat namanya. Saya pernah mengasosiasikan seseorang dengan monster loch ness, monster danau Nessy, hanya karena ukuran lehernya panjang. Bukan bermaksud menghina, hanya saja begitulah cara otak saya bekerja untuk mengingat sesuatu. Lancangnya saya yang kedua, karena saya mulai melempar pertanyaan di ranah privasi yang seharusnya sudah tidak berhak saya masuki, kecuali si penjawab memberi permisi. Namun berhubung dia adalah teman saya yang jalang lagi baik hati, terutama kepada saya, maka selanjutnya mengalirlah teman saya bercerita, perihal sebab musabab ia menyudahi tali kasihnya yang baru seumur bunga jagung. Dia adalah teman saya yang jalang lagi cerdas. Dia punya kemampuan menganalisa situasi yang mumpuni, mungkin karena dia adalah seorang wartawati. Jadi pembicaraan kami pun mengalir menjadi analisa-analisa mengapa fenomena jatuh hati sepanjang dua pekan bisa terjadi. Karena bukan hanya teman saya yang jalang itu saja yang pernah mengalaminya, pun saya juga, dan beberapa orang di luar sana. Mungkinkah kamu juga? Pernah kamu mengalaminya? bukan hanya sekali, namun beberapa kali?

 Kebanggaan kita sebagai manusia modern terbayar sangat mahal dengan bagaimana luar biasanya kita kesepian. Mungkin mulut dan ekspresi wajah kita bisa membohongi manusia-manusia di luar sana, meyakinkan mereka bahwa kita bahagia dan baik-baik saja. Namun terkadang pola tingkah laku kita yang dipengaruhi alam bawah sadar tidak bisa bohong, bahwa kita sering merasa sepi, walaupun di tengah keramaian. Sibuknya memenuhi urusan duniawi membuat kita tidak ada cukup waktu, atau punya kesempatan untuk memiliki hubungan yang tidak hanya tampak manis di riak permukaan, tapi juga bisa menghangatkan hati di bagian dalam. Sehingga saat seketika kita bertemu dia yang menarik hati, kita pun seketika pula jatuh hati, menafikan dan membutakan diri sejenak atas apa-apa yang tidak cocok dengan hati. Berasyik masyuk, terbuai dengan eforia salam-salam sayang di pagi hari, pesan mengingatkan makan di kala siang, dan peluk erat nan hangat di waktu malam.

  Tetapi, kebanggaan kita sebagai manusia modern juga membuat kita terlalu serius dalam melakukan manajemen resiko, bahkan sampai pada urusan-urusan usaha menyimpulkan tali hati. Check list memilih pasangan yang semula hanya terdiri dari tiga sampai lima poin dengan kriteria sederhana seperti: “yang penting baik” atau “yang penting ngobrolnya nyambung”, berubah menjadi ratusan poin yang sulit untuk dikompromi saat salah satu atau dua ternyata tidak dimiliki oleh si pemilik hati. Beberapa hari berselang, saat eforia sudah menyurut, saat logika kembali terpancang, hangat mesra pun mendingin, berganti dengan percakapan datar dan logis untuk menilai apakah ikatan ini bisa berlanjut atau harus berhenti. Argumen-argumen pun dibangun, daftar pro kontra dibuat, dan sayang sekali ternyata apa yang terjadi selama dua minggu ini harus disudahi, simpul hati pun harus diurai kembali.

 “Mungkin kita jatuh pada cinta, Bay. Bukan pada pasangannya”, Teman saya si jalang mencoba menganalisa. Mungkinkah begitu? Mungkinkah karena sebegitunya kita merasa kesepian, jadinya kita tanpa sadar melacurkan hati untuk mendapatkan satu paket rasa senang dan sedih yang menagih. Dengan siapa kita bercinta, menjadi urusan nomor dua. Ataukah, dengan bodohnya kita masih mengharapkan urusan percintaan kita sama seperti mimpi manis dan sempurna yang dibangun dalam bayangan kita? Masihkah kita berpikir bahwa nanti akan ada dia, yang datang dengan membawa komplit ratusan poin kriteria yang kita mau? Walaupun tiap hari kita menerima dengan telak tamparan pahitnya kenyataan, tapi untuk urusan yang satu itu, masihkah kita dengan rapat menutup telinga dari bisikan yang mengatakan bahwa ini bukan sebuah dongeng Disney, atau sebuah drama Korea? Hey, tidak ada yang namanya ibu peri di sini, dan operasi plastik harganya luar biasa mahal!

“Bedanya rasa suka anak kecil dan orang dewasa, Bay, Kalau anak kecil itu suka sesuatu dari seratus turun jadi sepuluh. Kalau orang dewasa, rasa sukanya dari sepuluh jadi seratus.”

Begitulah saat seorang karib memberikan opini pribadi tentang urusan percintaan orang dewasa. Bagaimana sisi kedewasaan menjadi salah satu faktor dalam menyukai sesuatu atau seseorang. Karib saya ini telah menjalin cinta dengan pacarnya lebih dari delapan tahun lamanya. Masih teringat dengan jelas seperti sebuah gambar foto di kepala saya, ekspresi paniknya karib saya ini saat si pacar tetiba raib saat kami sedang liburan ke luar negeri. Melihat mereka berdua, sering saya iri.

Kembali ke opini karib saya, jadi, mungkinkah begitu? Mungkinkah kita masih bertingah polah laiknya anak-anak? Seiring dengan berlalunya waktu, rasa suka kita justru menjadi semakin menurun kadarnya dan membosan? Atau, apakah kita sengaja melepaskan diri dari kerangkeng kedewasaan saat kita jatuh cinta? Sengaja bertingkah bak anak-anak? Ataukah, sederhana saja, memang kita belum beruntung saja di urusan percintaan? Memang belum jodoh saja? Bukan saat ini, tapi mungkinkah nanti ada orang yang datang yang membawa penggalan rusuk kita? Tunggu saja.

Pada akhirnya, kita tidak butuh seseorang yang sanggup merayakan hari jadi hubungan kita dengan pesta megah nan meriah, atau mengajak kita makan malam nan elegan di restoran mewah. Cukuplah seseorang yang memeluk hangat kita dari belakang saat kita merasa lelah.

Saya dan teman saya si jalang yang masih sedikit sendu akhirnya sepakat, sudahlah, rayakan saja status kelajangan kita. Apapun status yang kita emban sekarang, patut untuk disyukuri. Kami sepakat bahwa menjadi lajang tanpa menjadi jalang sama halnya seperti menjadi ronggeng tapi tidak memakai bedak. Sayang. Eman-eman. Sudah saya bilang berkali-kali bukan bahwa dia adalah teman saya nan jalang, dan saya adalah temannya yang kebetulan juga jalang. Daaan..menulis urusan cinta-cintaan begini membuat saya merasa seperti Carrie Bradshaw, walaupun wajah saya tidak seperti muka kuda (again, my brain). Lagipula, saya merasa saya lebih mirip Samantha. Huuuft..

Senin, 21 Mei 2012

Tersimpang

Apakah ini sayang? Tetiba kau menaruh sesuatu di tapak tangan kecilku. Sesuatu yang segera terasa hangat membungkus kulit dan menembus hati. Cintakah? Ah, sepertinya terlalu mendayu jika disebut begitu. Lagipula, hatiku ini terlanjur terlalu keras untuk merasa cinta seperti yang banyak orang rasa dan cerita. Jadi apa ini? Sepotong asa? Bolehlah jika kita sebut demikian. Karena memang hanya sepotong kecil saja besarnya. Kecil dan tidak penting. Sungguh, tidak penting. Sebegitu tidak pentingnya hingga kuuntai menjadi bandul, supaya dekat dengan degup hati. Sebegitu tidak pentingnya hingga bisa buat aku menyungging senyum meski mukaku terserang telak buliran badai pasir. Sebegitu tidak pentingnya hingga bisa membuat kaki gontaiku tetap melangkah pulang, meski kepala dan pundakku yang rapuh terpapar deras hujan. Jadi, kutanya lagi padamu sayang, apakah ini?

Siapakah kau ini sayang? Tetiba kau datang, memotong perhatianku ditengah alur rutinitas yang berbuah lelah lagi membosankan. Saat malam tiba, kau telah berdiri di situ, menungguku. Kau nyalakan deretan lampu kota. Lalu kau menggamit tanganku tanpa permisi untuk berjalan bersamamu di tengah kilau dan kerlipnya. Kau peluk aku erat sayang, seketika tulang-tulang lelahku berangsur menghangat dan menguat. Kau genggam tanganku dan sentuh punggungku, dimana setiap sentuhannya menjejakkan lapisan kulit yang membahagia. Tapi kenapa aku tidak bisa menyentuhmu sayang? Di saat aku mencoba mengusap pipimu, segera saja aku ternyata hanya menggengam angin. Wujudmu segera mundur, perlahan menghilang dengan meninggalkan raut senyum tipis khasmu itu. Senyum tipis yang aku benci namun juga aku rindu, karena aku tahu itu pertanda kau akan sejenak pergi. Aku tidak tahu dimana kamu, tapi kamu selalu bisa temukan aku. Aku benci kamu sayang, karena kamu tahu dengan tepat bagaimana membuatku lepas berderai tawa, namun juga membuatku menahan butir air di sudut mata. Jadi, kutanya lagi padamu sayang, siapakah kau ini?

Apakah kita ini sayang? Tetiba kita bertemu di jalan bersimpang. Berdua kita bukan tokoh utama dari sebuah kisah cinta yang manis. Jelas bukan. Karena kau sudah punya cerita cintamu, dan pun aku dengan kisah cintaku. Kita hanyalah manusia-manusia korban dari guyonan nasib yang sama sekali tidak lucu. Jadi, apakah kita ini sayang? Kait jalan bersimpang ini bergerak menjauh, di saat simpulku denganmu justru semakin menghubul erat. Inilah yang membuat aku sedih sayang, bukan karena yang lain. Belum puas aku nikmati cahaya kota berdua denganmu. Belum selesai aku ingin dipeluk hangat olehmu. Dan belum rela aku untuk melepas potongan asamu dari tanganku. Aku merasa ini belum seharusnya selesai sayang. Jadi, biar ku bertanya padamu sayang. Kita terpisah kini, namun suatu hari nanti, akankah kita tersimpang lagi?